SATUAN
ACARA PENYULUHAN (SAP)
TERAPI BERMAIN ANAK USIA 6
TAHUN
Topik :
Terapi Bermain 6 tahun
Sub Topik : Terapi Bermain boneka
Sasaran : Anak 6 tahun
Hari, tanggal : Kamis, 30 April 2015
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : Bangsal Anak
I.
Latar
Belakang
Bermain
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan,
tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak
yang terlalu banyak bermain akan membuat menjadi malas bekerja dan bodoh.
Anggapan ini kurang bijaksana, karena beberapa ahli psikolog mengatakan bahwa
permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Aktivitas
bermain merupakan salah satu stimulus bagi perkembangan anak. Sekarang banyak
dijual macam-macam alat permainan, jika orang tua tidak selektif dan kurang
memahami fungsinya maka alat permainan yang dibelinya tidak akan berfungsi
efektif. Alat permaianan hendaknya disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia
anak, sehingga dapat merangsang perkembangan anak dengan optimal. Dalam kondisi
sakitpun aktivitas bermaian tetap perlu dilaksanakan namun harus disesuaikan
dengan kondisi anak. Ruangan yang digunakan adalah di ruangan Bangsal Anak.
II.
Tujuan
1. Tujuan
Umum
Setelah
diajak bermain, diharapkan anak dapat melanjutkan tumbuh kembangnya,
mengembangkan aktifitas dan kreatifitas melalui pengalaman bermain dan
beradaptasi efektif terhadap stress karena penyakit dan dirawat.
2.
Tujuan Khusus
Setelah diajak bermain selama 35 menit, anak diharapkan:
a.
Gerakan
motorik halusnya lebih terarah
b.
Berkembang
kognitifnya
c.
Dapat
memerankan boneka yang disukainya
d.
Dapat
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya yang dirawat di ruang yang
sama
e.
Kejenuhan
selama dirawat di RS berkurang
III.
Metode
Metode yang digunakan yaitu
demonstrasi.
IV.
Media (materi terlampir)
1. Boneka
yang terbuat dari kertas
V.
Isi Materi
Pembagian
No
|
Waktu
|
Kegiatan penyuluhan
|
Kegiatan peserta
|
1.
|
5 menit
|
Persiapan :
• Menyiapkan ruangan
• Menyiapkan alat-alat permainan
• Menyiapkan anak dan keluarga
|
|
2.
|
15 menit
|
Pelaksanaan :
• Membuka proses terapi bermain
dengan mengucapkan salam, memperkenalkan diri
• Menjelaskan pada anak dan
keluarga tentang tujuan dan manfaat bermain, menjelaskan cara permainan
• Mengajak anak bermain
• Mengevaluasi respon anak dan keluarga.
|
• Menjawab salam
• Memperkenalkan diri
• Memperhatikan
• Bermain
bersama dengan antusias dan mengungkapkan perasaannya
|
3.
|
10 menit
|
Evaluasi :
• Anak dapat memakaikan baju sesuai
jenis kelamin boneka
|
• Memperhatikan
|
4.
|
2 menit
|
Penutup :
Mengucapkan terima kasih dan mengucapkan salam.
|
Menjawab salam
|
i.
Evaluasi
1.
Kegiatan : jadwal, tempat, alat
bantu/media, pengorganisasian, proses penyuluhan
2.
Hasil kegiatan dengan memberikan
pertanyaan pada anak yaitu sebagai berikut :
a. Apakah
anak senang bermain boneka?
b. Apakah
anak dapat memakaikan baju sesuai jenis kelamin boneka?
ii.
Pengorganisasian
1.
Penanggung Jawab : Bu Jumrotun Ni’mah
2.
Leader :
Kharisatul Mawaddah
3.
Co-leader : Nisa Aprilia
4.
Fasilitator : Ika Dewi S
5.
Peserta anak dengan usia 6 tahun : Ade
Rossa, Candra Ari, Pitria Dewi, Sischa Irawati
VIII.
Referensi
Andika,
Alya. 2010. Ibu, Dari Mana Aku Lahir.
Yogyakarta : Pustaka Grahatama
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang
Anak. Jakarta : EGC
Lampiran Materi
A.
Pengertian Seks
Seks
dalam arti sempit adalah kelamin. Sementara dalam arti luas, seks menyangkut semua aspek
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sisi fisik, bilogis, psikis,
serta sosial yang berhubungan pada manusia. Seks juga berarti fisik-genetik dan fungsinya
terkait dengan jenis kelamin (seks).
Dengan
demikian pendidikan seks (sex
education) dapat dipahami sebagai usaha yang diciptakan secara sengaja dan
bertujuan untuk mendidik, melatih, dan membimbing anak tentang seks agar dapat
mengantisipasi intimidasi seksual yang mungkin dialaminya sesuai dengan
kemampuan individu dan sosialnya. Pendidikan seks juga berarti upaya transfer
pengetahuan dan nilai (knowledge dan values) tentang fisik-genetik dan
fungsinya terkait dengan jenis kelamin (seks).
Jadi,
pendidikan seks kepada anak merupakan upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan
tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak, dalam usaha menjaga
anak terbebas dari intimidasi/kekerasan seksual. Praktisnya, pendidikan seks untuk
adalah suatu
upaya menyampaikan informasi mengenai seksualitas secara jelas dan benar untuk
anak.
Oleh
karena pertimbangan inilah pendidikan seks kepada anak dilakukan dengan tujuan
:
1.
Membantu
anak mengetahui topik-topik biologis seperti jenis kelamin, pertumbuhan, dsb.
2.
Mencegah
anak-anak dari tindak kekerasan
3.
Mendorong
anak menciptakan hubungan yang baik
4.
Mencegah
anak terlibat dalam sexual intercourse
(hubungan seksual)
Pendidikan seks untuk anak hanya
efektif apabila dilakukan berdasarkan tahapan perkembangan anak, sesuai dengan
rentang usia, yaitu misal pada anak usia 5-10 tahun. Anak-anak dalam rentang
usia ini biasanya mulai aktif bertanya tentang seks dengan pertanyaan yang
lebih spesifik. Misalnya darimana bayi berasal. Tentu saja, jawaban orang tua
haruslah terus terang dan apa adanya. Dan akhiri dengan mengatakan bahwa
hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah menikah
(suami-istri).
B.
Dampak Ketiadaan Pendidikan Seks untuk Anak
Sekurang-kurang terdapat tiga dampak yang mungkin anak alami
apabila tidak mendapatkan pendidikan seks sejak dini, yaitu:
1. Dampak fisik,
yaitu terkena penyakit menular dan anak yang terjebak dalam free sex. Tetapi bukan hanya ini yang
bisa terjadi. Anak bisa mengalami kekerasan seksual (pelecehan) atau abuse child. Jelas, penyebabnya
adalah karena tidak diberitahu tentang fisik-genetik dan fungsinya terkait
dengan jenis kelamin. Akibat, ketika ada orang yang tidak bertanggung jawab
melancarkan aksi bejatnya, anak tak tahu bagaimana menangkalnya
2. Dampak psikis,
anak mengalami traumatik yang mendalam; ini tidak hanya tentang perubahan sikap
tetapi juga menyangkut timbulnya rasa tidak percaya kepada orang lain, anak
selalu menaruh curiga dan berprasangka buruk
3. Dampak sosial, anak mendapatkan stigma
atau label negatif. Kita tahu, bahkan lingkungan masyarakat yang sangat liberal
pun tak bisa mengabaikan sanksi sosial terhadap korban kekerasan seksual.
Apabila pendidikan seks untuk anak tidak dilaksanakan sejak dini, anak bisa menjadi
pelaku sexual intercourse, dalam hal ini anak tidak hanya menjadi korban
(victim) tetapi juga bisa
menjadi pelaku kekerasan seksual. Mengapa? Sebab anak tidak tahu bagaimana
memperlakukan orang lain secara wajar. Kita tahu, sexual abuse sering terjadi karena defisit pengetahuan tentang
seks, dan bukan hanya karena pemahaman yang salah.
C.
Kiat-Kiat dalam Pendidikan Seks untuk Anak
1.
Bersikap jujur dan
terbuka. Orang tua harus menyampaikan
informasi tentang seks secara benar dan apa adanya. Tidak boleh menjawab
pertanyaan anak-anak dengan asal-asalan, tidak akurat apalagi sampai melenceng
dari subjek pertanyaan. Ini akan mengajari anak bersikap jujur dan terbuka
kepada orang tua. Selama ini, dalam pengalaman kita, orang tua tidak jujur
kepada anak misalnya dengan menyebut alat kelaminnya dengan sebutan lain.
2.
Santai. Pendidikan seks kepada anak harus
berlangsung dalam suasana santai, wajar, dan biasa-biasa dalam arti tidak
membesar-besarkan masalah karena menganggap seks merupakan topik yang berat.
Intonasi suara sangat diperlukan.
3.
Tidak boleh bersikap heboh
atau berlebihan.
Dalam arti praktis, orang tua harus menekan rasa risih dan takutnya ketika
menjelaskan tentang seks.
4.
Jangan biarkan anak
melihat kekalutan kita ketika menjelaskan tentang seks. Orang tua hanya bisa menekan atau
menghilangkan kekalutannya apabila telah mampu melepaskan diri dari semua
persepsi negatif tentang seks.
5.
Hindari memarahi anak
karena mengajukan pertanyaan tentang seks. Hal ini juga menyangkut perkataan bahwa seks itu dosa,
kotor, atau tak pantas untuk dibicarakan. Ini akan berpengaruh buruk kepada
anak. Anak akan mengembangkan persepsi negatif tentang seks dan pada akhirnya
memiliki pemahaman keliru.
6.
Tidak boleh vulgar. Pendidikan seks untuk anak yang
dilakukan secara vulgar justru akan berdampak negatif pada anak. Orang tua sebaiknya
melihat faktor usia dan sasaran yang hendak dituju.
D. Manfaat dari Pendidikan Seks pada
Anak
1. Untuk mengetahui informasi seksual
bagi remaja
2. Agar anak memiliki kesadaran akan
pentingnya memahami masalah seksualitas
3. Agar anak memiliki kesadaran akan
fungsi-fungsi seksualnya
4. Agar anak memahami masalah-masalah
seksualitas remaja
5. Agar anak memahami faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah seksualitas.
E.
Pentingnya Pakaian Bagi manusia
1. Pakaian
adalah salah satu kebutuhan pokok bagi manusia, tanpa pakaian manusia tidak
dapat menutupi tubuhnya dengan aman. Pakaian juga adalah hal penting untuk
menunjang penampilan, dengan pakaian manusia dapat memiliki kepercayaan diri
dihadapan manusia lainnya.
2. Pakaian
adalah pelindung tubuh yang paling utama dari hal-hal lain seperti
perawataan-perawataan kulit dan sebagainya. Manusia dapat merasakan manfaat
dari pakaian yaitu : penutup badan dari sengatan panas matahari, menutupi
aurat, penunjang penampilan agar terlihat lebih baik dan percaya diri, dll.
F. Perbedaan
Jenis Kelamin dalam Berpakaian
Dalam kebanyakan budaya, perbedaan pakaian antara kedua jenis kelamin
dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan. Perbedaan dalam gaya, warna, dan kain.
Dalam masyarakat Barat, rok, gaun, dan sepatu hak
tinggi biasanya dilihat sebagai pakaian perempuan, sementara dasi biasanya dilihat
sebagai pakaian pria. Celana pernah dilihat sebagai pakaian khusus laki-laki, tetapi
saat ini dikenakan oleh kedua jenis kelamin. Pakaian pria kadang-kadang lebih
praktis daripada pakaian perempuan (yaitu, mereka dapat berfungsi dengan baik
dalam berbagai macam situasi), tetapi pakaian wanita kadang-kadang lebih luas
dalam hal model daripada pakaian pria. Pria biasanya diperbolehkan untuk
bertelanjang dada dalam berbagai tempat umum, seperti di kolam berenang.
Biasanya wanita diperbolehkan memakai pakaian pria. Namun sebaliknya, pria yang
memakai pakaian wanita seringkali dianggap aneh.
Dalam beberapa budaya, hukum mengatur apa yang pria dan wanita diharuskan
memakai. Agama Islam memerlukan perempuan untuk memakai bentuk-bentuk yang
lebih sederhana dari pakaian, biasanya jilbab. Apa
yang memenuhi syarat sebagai sederhana bervariasi dalam masyarakat yang
berbeda, namun, wanita biasanya diperlukan untuk menutup tubuh mereka lebih
banyak dari laki-laki. Anggaran pakaian dikenakan oleh wanita muslim untuk
tujuan dari jangkauan kesederhanaan dari jilbab untuk burqa.
Pria kadang-kadang dapat memilih untuk memakai rok pria seperti togas atau kilt, terutama pada
acara-acara seremonial. pakaian
seperti itu (di masa sebelumnya) sering dipakai sebagai pakaian sehari-hari
normal dengan laki-laki. Dibandingkan dengan pakaian pria, pakaian wanita
cenderung menarik, sering dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada laki-laki. Di
negara-negara industri modern, perempuan
lebih cenderung memakai rias wajah, perhiasan,
dan pakaian berwarna-warni, sedangkan di sangat tradisional budaya perempuan
dilindungi dari tatapan pria dengan pakaian sederhana.
Baju anak laki-laki umumnya hanya celana panjang, celana pendek, kemeja
dan kaos. Sedangkan baju anak perempuan lebih beragam baik mode atau coraknya,
misalnya untuk baju atas ada kaos rompi, blouse dan lain-lainnya. Untuk bawahan
ada rok mini juga rok panjang. Selain celana panjang dan celana pendek, ada
juga celana legging yaitu celana ketat untuk anak perempuan.
G. Pengertian Terapi Bermain
Bermain adalah cerminan kemampuan
fisik, intelektual, emosional dan sosial dan bermain merupakan media yang baik
untuk belajar karena dengan bermain, anak akan berkata-kata, belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan melakukan apa yang dapat dilakukan, dan
mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000).
Bermain adalah kegiatan yang
dilakukan sesaui dengan keinginanya sendiri dan memperoleh kesenangan (Foster,
1989).
Bermain adalah cara alamiah bagi
anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya yang tidak disadarinya (Miller
dan Keong, 1983).
Bermain sama dengan bekerja pada
orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta
merupakan satu cara yang paling efektif untuk menurunkan stress pada anak, dan
penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Champbell dan Glaser,
2005).
H. Fungsi Bermain
1. Perkembangan Sensori
a. Memperbaiki keterampilan motorik
kasar dan halus serta koordinasi
b. Meningkatkan perkembangan semua
indra
c. Mendorong eksplorasi pada sifat
fisik dunia
d. Memberikan pelampiasan kelebihan energy
2. Perkembangan yang intelektual
a. Memberikan sumber – sumber yang
beraneka ragam untuk pembelajaran
b. Eksplorasi dan manipulasi bentuk,
ukuran, tekstur, warna
c. Pengalaman dengan angka, hubungan
yang renggang, konsep abstrak
d. Kesempatan untuk mempraktikan dan
memperluas keterampilan berbahasa
e. Memberikan kesempatan untuk melatih
masa lalu dalam upaya mengasimilasinya kedalam persepsi dan hubungan baru
f. Membantu anak memahami dunia dimana
mereka hidup dan membedakan antara fantasi dan realita.
3. Perkembangan sosialisasi dan moral
a. Mengajarkan peran orang dewasa,
termasuk perilaku peran seks.
b. Memberikan kesempatan untuk menguji
hubungan.
c. Mengembangkan keterampilan sosial
d. Mendorong interaksi dan perkembangan
sikap positif terhadap orang lain
e. Menguatkan pola perilaku yang telah
disetujui standar moral.
4. Kreativitas
a. Memberikan saluran ekspresif untuk
ide dan minat kreatif
b. Memungkinkan fantasi dan imajinasi
c. Meningkatkan perkembangan bakat dan
minat khusus
5. Kesadaran diri
a. Memudahkan perkembangan identitas
diri
b. Mendorong pengaturan perilaku
sendiri
c. Memungkinkan pengujian pada
kemampuan sendiri (keahlian sendiri)
d. Memberikan perbandingan antara
kemampuasn sendiri dan kemampuan orang lain
e. Memungkinkan kesempatan untuk
belajar bagaimana perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain
6. Nilai Teraupetik
a. Memberikan pelepasan stress dan
ketegangan
b. Memungkinkan ekspresi emosi dan
pelepasan impuls yang tidak dapat diterima dalam bentuk yang secara sosial
dapat diterima
c. Mendorong percobaan dan pengujian
situasi yang menakutkan dengan cara yang aman.
d. Memudahkan komunikasi verbal tidak
langsung dan non verbal tentang kebutuhan, rasa takut, dan keinginan.
I. Tujuan Bermain
1.
Untuk
melanjutkan tumbuh kembang yg normal pada saat sakit.
Pada
saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
2.
Mengekspresikan
perasaan, keinginan, dan fantasi serta ide-idenya.
Permainan
adalah media yang sangat efektif untuk mengsekspresikan berbagai perasaan yang
tidak menyenangkan.
3.
Mengembangkan
kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah.
Permainan
akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, dan fantasinya untuk mencipakan
sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.
4.
Dapat
beradaptasi secara efektif thp stres karena sakit dan di rawat di RS.
J. Prinsip – prinsip Bermain
Menurut Soetjiningsih (1995) bahwa
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aktifitas bermain bisa menjadi
stimulus yang efektif :
1.
Perlu
ekstra energi
Bermain memerlukan energi yang cukup sehingga anak memerlukan
nutrisi yang memadai. Asupan atau intake yang kurang dapat menurunkan gairah
anak. Anak yang sehat memerlukan aktifitas bermain yang bervariasi, baik
bermain aktif maupun bermain pasif.Pada anak yang sakit keinginan untuk bermain
umumnya menurun karena energi yang ada dugunakan untuk mengatasi penyakitnya.
2.
Waktu
yang cukup
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga
stimulus yang diberikan dapat optimal. Selain itu, anak akan mempunyai
kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya.
3.
Alat
permainan
Alat permainan yang digunakan harus disesuaikan dengan usia
dan tahap perkembangan anak. Orang tua hendaknya memperhatikan hal ini sehingga
alat permainan yang diberikan dapat berfungsi dengan benar dan mempunyai unsur
edukatif bagi anak.
4.
Ruang
untuk bermain
Aktifitas bermain dapat dilakukan di mana saja, di ruang
tamu, di halaman, bahkan di ruang tidur. Diperlukan suatu ruangan atau tempat
khusus untuk bermain bila memungkinkan, di mana ruangan tersebut sekaligus juga
dapat menjadi tempat untuk menyimpan permainannya.
5.
Pengetahuan
cara bermain
Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru
teman-temannya, atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terahkir adalah
yang terbaik karena anak lebih terarah dan berkembang pengetahuannya dalam
menggunakan alat permainan tersebut. Orang tua yang tidak pernah mengetahui
cara bermain dari alat permainan yang diberikan, umumnya membuat hubungannya
dengan anak cenderung menjadi kurang hangat.
6.
Teman
bermain
Dalam bermain, anak memerlukan teman, bisa teman sebaya,
saudara, atau orang tuanya. Ada saat-saat tertentu di mana anak bermain sendiri
agar dapat menemukan kebutuhannya sendiri. Bermain yang dilakukan bersama orang
tuanya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberikan kesempatan kepada
orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami oleh anaknya. Teman
diperlukan untuk mengembangkan sosislisasi anak dan membantu anak dalam
memahami perbedaan.
K. Faktor yang Mempengaruhi Bermain
1.
Tahap
perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat harus sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua dan Perawat harus mengetahui dan
memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap tahapan pertumbuhan
dan perkembangan anak.
2.
Status
kesehatan anak
Aktivitas bermain memerlukan energi maka Perawat harus
mengetahui kondisi anak pada saat sakit dan jeli memilihkan permainan yang
dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang
dirawat di RS.
3.
Jenis
kelamin
Pada dasarnya dalam melakukan aktifitas bermain tidak
membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan namun ada pendapat yang
diyakini bahwa permainan adalah salah satu alat mengenal identitas dirinya. Hal
ini dilatarbelakangi oleh alasan adanya tuntutan perilaku yang berbeda antara
laki – laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.
4.
Lingkungan
yang mendukung
Lingkungan yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak
mempunyai cukup ruang untuk bermain.
5.
Alat
dan jenis permainan yg cocok
Pilih alat bermain sesuai dengan tahapan tumbuh kembang
anak. Alat permainan harus aman bagi anak.
L. Alat Permainan Edukatif
Alat permainan edukatif adalah alat
permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usia
dan tingkat perkembangannya. Contoh alat permainan pada balita dan
perkembangan yang distimuli :
1.
Pertumbuhan
fisik dan motorik kasar
Contoh
: Sepeda roda tiga/dua, bola, mainan yang ditarik dan didorong, tali, dll.
2.
Motorik
halus
Contoh
: Gunting, pensil, bola, balok, lilin, dll.
3.
Kecerdasan/
kognitif
Contoh
: Buku gambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil, warna, dll.
4.
Bahasa
Contoh
: Buku bergambar, Buku cerita, majalah, radio, tape, TV, dll.
5.
Menolong
diri sendiri
Contoh
: Gelas/ piring plastic, sendok, baju, sepatu, kaos kaki, dll.
6.
Tingkah
laku sosial
Contoh
: Alat permainan yang dapat dipakai bersama missal congklak, kotak pasir,
bola, tali, dll.
M. Klasifikasi Bermain
a. Menurut isi permainan
a. Sosial affective play
Inti
permainan ini adalah hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak
dengan orang lain (contoh: ciluk-baa, berbicara sambil tersenyum dan tertawa).
b. Sense of pleasure play
Permainan
ini sifatnya memberikan kesenangan pada anak (contoh: main air dan pasir).
c. Skiil play
Permainan
yang sifatnya meningkatkan keterampilan pada anak, khususnya motorik kasar dan
halus (misal: naik sepeda, memindahkan benda).
d. Dramatik Role play
Pada
permainan ini, anak memainkan peran sebagai orang lain melalui permainanny.
(misal: dokter dan perawat).
e. Games
Permainan
yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan / skor
(Contoh : ular tangga, congklak).
f. Un occupied behaviour
Anak
tidak memainkan alat permainan tertentu, tapi situasi atau objek yang ada
disekelilingnya, yang digunakan sebagai alat permainan (Contoh: jinjit-jinjit,
bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja dsb).
b. Menurut karakter sosial
a. Onlooker play
Anak
hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk
ikut berpartisifasi dalam permainan (Contoh: Congklak/Dakon).
b. Solitary play
Anak
tampak berada dalam kelompok permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat
permainan yang dimilikinya dan alat permainan tersebut berbeda dengan alat
permainan temannya dan tidak ada kerja sama.
c. Parallel play
Anak
menggunakan alat permaianan yang sama, tetapi antara satu anak dengan
anak lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak satu dengan
lainya tidak ada sosialisasi. Biasanya dilakukan anak usia toddler.
d. Associative play
Permainan
ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dengan anak lain, tetapi
tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin dan tujuan permaianan tidak jelas
(Contoh: bermain boneka, masak-masak).
e. Cooperative play
Aturan
permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada permainan jenis ini, dan punya
tujuan serta pemimpin (Contoh: main sepak bola).
Usia
6 tahun
Karakteristik
mainan untuk anak sekolah, diantaranya :
1.
Cross
motor and fine motors
2.
Dapat
melompat,bermain dan bersepeda
3.
Sangat
energik dan imaginative
4.
Mulai
terbentuk perkembangan moral
5.
Mulai
bermain dengan jenis kelamin dan bermain dengan kelompok
6.
Karakteristik
bermain
7.
Assosiative
play
8.
Dramatic
play
9.
Skill
play
10.
Laki-laki
aktif bermain di luar
11.
Perempuan
di dalam rumah
Mainan
untuk sekolah, yaitu :
1.
Peralatan
rumah tangga
2.
Sepeda
roda dua
3.
Papan
tulis/kapur
4.
Lilin,
boneka, kertas
5.
Drum,
buku dengan kata simple, kapal terbang, mobil, truk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar